“Sejarah adalah catatan statistik
tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal.”
(Malik Bin Nabi, Ta`ammulat; 35)
Ledakan Energi Peradaban
Empat syuhada berangkat pada suatu malam,
gerimis air mata tertahan di hari keesokan,
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri,
mengukir reformasi karena jemu deformasi,
dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru,Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri,
karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini,merunduk di bawah garang matahari,
tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi.
Tapi peluru logam telah kami patahkan alam doa bersama,
dan kalian pahlawan bersih dari dendam,
karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
(Taufik Ismail, 1998)
Begitulah Taufik Ismail lewat sajak berjudul 12 Mei 1998 mengabadikan kepahlawanan empat mahasiswa Trisakti yang gugur diterjang peluru kediktatoran rezim Orde Baru; Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidin Royan. Mereka adalah sebagian dari pelaku baru sejarah Indonesia dan sekaligus fajar yang menandai lahirnya generasi baru, generasi 1998.
Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya; anak-anak yang membawa keberanian ditengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, memekikkan gaung pembelaan di tengah pengkhianatan; anak-anak yang memberikan darahnya dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan; anak-anak yang meninggalkan kenikmatan masa mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya agar bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik.
Maka sejarah panjang bangsa ini, setidak-tidaknya dalam hitungan abad ini, ditandai dengan kelahiran generasi demi generasi pada setiap persimpangan sejarah. Jika generasi 98 berhasil menumbangkan Orde Baru, maka generasi 66 berhasil mengakhiri Orde Lama. Dalam (puisi) “Sebuah Jaket Berlumur Darah” Taufik Ismail melukiskan suasana kepahlawanan itu:
Sebuah jaket berlumur darah
kami semua sudah menatapmu
telah berbagi duka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun.
Baca lebih lanjut →